Ketegangan-ketegangan panjang Mataram dan VOC tidaklah surut dengan perjanjian damai ditahun 1621, juga ketika berturut-turut De Haen mendatangi Mataram di tahun 1622 dan 1623, serta Jan Vos ditahun1624. Van Jos mengalami kegagalan diplomatik dengan menolak memberi bantuan terhadap Sultan Agung untuk menundukan Surabaya, Banten, dan Banjarmasin. Pada tahun 1625 Belanda tidak lagi mengirimkan dutanya, dan tahun 1626 duta yang dikirimkan ke Mataram ditolak karena alasan salah menyebut gelar Sultan Agung (H. J. De Graaf, 1986:149). Kemudian setelah kejadian itu terlewatkan VOC menganggap tidak lagi mengirim dutanya ke Mataram, karena merasa tindakkan tersebut sia-sia. Dapat dipahami bahwa usaha yang dilakukan Belanda berulang kali tidak membuahkan hasil.
Setelah Surabaya dapat ditaklukan di tahun 1625 oleh Mataram, maka sesegera mungkin Sultan Agung bersiap-siap untuk menghadapi VOC. Pasukan Mataram diberangkatkan menuju Batavia, kontingen-kontingen pertama mengangkut logistik tiba dipelabuhan Batavia pada bulan April dan Agustus 1628. Memasuki Bulan September pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa mulai melakukan serangannya terhadap benteng pertahanan VOC. Serangan balik juga di lancarkan VOC yang dipimpin Jacques Lafabre pada bulan Oktober dan berhasil memporak-porandakan barisan depan dan disaat itu pula juga menewaskan Tumenggung Baureksa. Pasukan pendukung yang tiba kemudian dibawah pimpinan Tumenggung Sura Agul Agul dan dua bersaudara Kyai Mandurareja dan Upa Santa cukup dapat merepotkan pertahanan VOC. Namun dukungan tambahan pasukan Mataram tersebut belum dapat merebut Batavia. Karena persediaan logistik yang tidak mencukupi. Selanjutnya pasukan Mataram memutuskan untuk mundur di bulan Desember dan Sultan Agung menghukum mati panglima-panglima yang gagal dan juga pasukan-pasukannya (Hussein Jayadiningrat, 1983: 119).
Sikap selanjutnya Sultan Agung tidak segera menyerah dan putus asa. Beliau kemudian segera menyiapkan pasukan untuk menaklukan Batavia lagi. Serangan yang kedua, pasukan Mataram mulai bergerak pada akhir Mei 1629. Pangeran Cirebon dan Tumenggung Tegal diperintahkan untuk mempersiapkan logistik pasukan. Namun persiapan-persiapan yang dilakukan nampaknya diketahui pihak VOC pada Juni 1629. Kemudian VOC memusnakan persediaan logistik sehingga kekuatan tempur Mataram melemah. Hal tersebut menyebabkan pasukan Mataram mudah ditaklukan pada serangan kedua dengan singkat oleh VOC pada tanggal 21 Agustus- 2 Oktober). Dalam situasi VOC tidak menderita kerugian yang berarti, sedangkan dampak besar pada pasukan Mataram yakni banyak mengalami penderitaan yang disebabkan penyakit dan kelaparan. Ambisi Sultan Agung tidak diimbangi dengan kemampuan militer dan logistik sehingga telah membawa dirinya kedalam kehancuran di depan Batavia (Ricklefs, 2005: 70).
Sumber Bacaan
De Graaf H. J., 1986, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (terjemahan Pustaka Grafiti Press), Jakarta: Pustaka Grafiti Press.
Hussein Jayadiningrat, 1983, Tinjauan Kritis Sejarah Banten, Jakarta: Djambatan.
MC. Ricklefs, 2005, Sejarah Indonesia Modern (terjemahan Dharmono Hardjo Widjono), Jakarta: Gadjah Mada University Press.
Demikianlah Artikel yang bisa sampaikan pada kesempatan ini, semoga bermanfaat bagi anda, dan jangan lupa untuk membaca artikel lain yang terdapat pada daftar isi, kurang lebihnya mohon maaf. [R.G]