Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang.
Pada saat itu pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang berbasis pada sistem kapitalisme Barat melalui komersialisasi, sistem moneter, dan komoditas barang. Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah, sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran.
Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916). Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi.
Adanya Politik Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupanpun mulai mengalami perubahan.
Perluasan pendidikan gaya Barat adalah tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu tidak saja menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, akan tetapi juga pada sektor swasta Belanda.
Adanya pendidikan gaya Barat itu membuka peluang bagi mobilitas sosial masyarakat di tanah Hindia/Indonesia. Pengaruh pendidikan Barat itu pula yang kemudian memunculkan sekelompok kecil intelektual bumiputra yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputra harus mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan.
Golongan intelektual bumiputra itu disebut “priyayi baru” yang sebagian besar adalah guru dan jurnalis di kota-kota. Pendidikan dan pers itu pula menjadi untuk menyalurkan ide-ide dan pemikiran yang ingin membawa kemajuan, dan pembebasan bangsa dari segala bentuk penindasan dari kolonialisme Belanda.
Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau, Ambon, atau apa pun karena mereka adalah bumiputra. Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah lulus sangatlah berbeda dengan generasi orang tua mereka. Para kaum muda terpelajar inilah yang kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna baru bagi kaum pelajar terdidik saat itu.
Mereka tentunya tidak mengenal satu sama lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyajakarta, Surabaya, dan seluruh wilayah Hindia. Mereka saling berbagi pengalaman, gagasan, dan asumsi tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka. Pemerintah Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah tokoh Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka itu penggerak wacana perubahan di lembaga tersebut.
Pada saat itu pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang berbasis pada sistem kapitalisme Barat melalui komersialisasi, sistem moneter, dan komoditas barang. Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah, sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran.
Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916). Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi.
- Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.
- Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.
- Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.
Adanya Politik Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupanpun mulai mengalami perubahan.
- Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa itu.
- Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi. Di samping itu pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera.
- Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi bagi kaum etis pada saat itu. Semangat era etis adalah kemajuan menuju modernitas.
Perluasan pendidikan gaya Barat adalah tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu tidak saja menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, akan tetapi juga pada sektor swasta Belanda.
Adanya pendidikan gaya Barat itu membuka peluang bagi mobilitas sosial masyarakat di tanah Hindia/Indonesia. Pengaruh pendidikan Barat itu pula yang kemudian memunculkan sekelompok kecil intelektual bumiputra yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputra harus mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan.
Golongan intelektual bumiputra itu disebut “priyayi baru” yang sebagian besar adalah guru dan jurnalis di kota-kota. Pendidikan dan pers itu pula menjadi untuk menyalurkan ide-ide dan pemikiran yang ingin membawa kemajuan, dan pembebasan bangsa dari segala bentuk penindasan dari kolonialisme Belanda.
Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau, Ambon, atau apa pun karena mereka adalah bumiputra. Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah lulus sangatlah berbeda dengan generasi orang tua mereka. Para kaum muda terpelajar inilah yang kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna baru bagi kaum pelajar terdidik saat itu.
Mereka tentunya tidak mengenal satu sama lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyajakarta, Surabaya, dan seluruh wilayah Hindia. Mereka saling berbagi pengalaman, gagasan, dan asumsi tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka. Pemerintah Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah tokoh Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka itu penggerak wacana perubahan di lembaga tersebut.